Mengapa muhammadiyah memakai
hisab dalam penentuan awal bulan ramadhan dan bulan syawal??
Cekidot. . . . . . . .
Salah satu
muhammadiyah naik di media masa adalah ketika menjelang ramadhan dan Idul Fitri.
Pasalnya, muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah
yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan qamariyah. Hal ini
menyebabkan adanya kemungkinan 1 ramadhan dan 1 syawal versi muhammadiyah
berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan muhammadiyah
banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh kepada pemerintah, tidak menjaga
ukhuwah islamiyah, hingga tidak mengikuti rasulullah saw yang jelas memakai
rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan muhammadiyah itu sendiri ada yang
belum bisa menerima pemnggunaan metode hisab ini.
Umumnya, mereka
yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu” berpuasalah
kamu karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal pula. Jika bulan
terhalang terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan
sya’ban tiga puluh hari” (H.R Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan juga
contoh Rasulullah saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah
yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak
punya referensi pada rasulullah saw. Lalu, mengapa muhammadiyah bersih kukuh
menggunakan metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang diringkaskan dari
makalah Prof. Dr. Syamsul anwar, M.A yang di sampaikan dalam pengajian ramadhan
1431 H PP Muhammadiyah di kampus terpadu UMY.
Hisab yang
dipakai muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal
bulan baru yang menegaskan bahwa bulan qamariyah baru dimulai apabila telah
terpenuhi tiga parameter:
1. Telah
terjadi konjungsi atau ijtimak
2. Ijtimak
itu terjadi sebelum matahari terbenam
3. Pada
saat matahari terbenam bulan berada diatas ufuk.
Sedangkan argumen mengapa muhammadiyah memilih
metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.
Pertama, semangat al-qur’an adalah menggunkan hisab.
Hal ini ada dalam ayat “ matahari dan bulan beredar menurut perhitungan”(QS 55:5). Ayat ini bukan
sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang
pasti sehingga dapat dihitung atau di prediksi, tetapi juga dorongan untuk
menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS YUNUS(10) ayat 5 disebutkan
bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa
Rasulullah saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Azzaraqa,
perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat(beralasan). Ilat perintah rukyat
adalah karena umat zaman nabi saw adalah umat yang ummi, tikad kenal baca tulis
dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini si tegaskan oleh rasulullah saw dalam
hadits “sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan
tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni
kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari” (H.R
Bukhari & Muslim). Dalam kaidah fikhiyah, hukum berlaku menurut ada atau
tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu konidisi ummi sehingga tidak ada yang
dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak
ada(sudah ada hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al
Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah
sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut
seorang salaf murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan qamariyah
adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat dimana tidak ada orang yang
mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat islam tidak bisa membuat
kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru
bisa di ketahui pada H-1. Dr. Nidhi Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa
umat islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas.
Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria terdapat suatu sistem
kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan
Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat islam berbeda memulai
bulan qamariyah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada
visibilitaas pertama mengcover seluruh muka bumi. Padahal hari yang sama ada
muka bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60
derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk
beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan
telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan kawasan antartika yang siang
pada musim melebihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa
di berlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang yang di sebelah timur tidak
mungkin menunggu rukyat di kawasan barat yang jaraknya lebih dari 10 jam.
Akibatnya rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan qamariyah di seluruh
dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan
bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk
seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta
astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan
pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat di pertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan
arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan
sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah
timur belum. Sehingga terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah
dalam memasuki awal bulan qamariyah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan
ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa arafah karena wukuf di arafah
jatuh bersama dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu
menunda masuk bulan Dzulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah
terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau
balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat
tidak dapat memberikan suatu pandangan waktu yang pasti dan komrehensif. Dan
karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat islam secara
selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian
sistem waktu islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita
memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk
Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad
at Tawimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at
Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan :”Masalah penggunaan hisab, para
peserta menyepakati bahwa pemecah problematika penentuan bulan qamariahdi
kalangan umat islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan
terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan qamariyah, seperti halnya penggunaan
hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.