Kamis, 02 Agustus 2012

Posting ini hanya untuk menambah wawasan tanpa memihak siapapun, supaya kita dapat membuka hati kita dan pikiran kita. Bukan untuk diperdebatkan atau disalahkan. Mohon pengertiannya ^_^


Mengapa muhammadiyah memakai hisab dalam penentuan awal bulan ramadhan dan bulan syawal??

Cekidot. . . . . . . .

Salah satu muhammadiyah naik di media masa adalah ketika menjelang ramadhan dan Idul Fitri. Pasalnya, muhammadiyah yang memakai metode hisab terkenal selalu mendahului pemerintah yang memakai metode rukyat dalam menentukan masuknya bulan qamariyah. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan 1 ramadhan dan 1 syawal versi muhammadiyah berbeda dengan pemerintah. Dan hal ini pula yang menyebabkan muhammadiyah banyak menerima kritik, mulai dari tidak patuh kepada pemerintah, tidak menjaga ukhuwah islamiyah, hingga tidak mengikuti rasulullah saw yang jelas memakai rukyat al-hilal. Bahkan dari dalam kalangan muhammadiyah itu sendiri ada yang belum bisa menerima pemnggunaan metode hisab ini.

Umumnya, mereka yang tidak dapat menerima hisab karena berpegang pada salah satu hadits yaitu” berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari” (H.R Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut (dan juga contoh Rasulullah saw) sangat jelas memerintahkan penggunaan rukyat, hal itulah yang mendasari adanya pandangan bahwa metode hisab adalah suatu bid’ah yang tidak punya referensi pada rasulullah saw. Lalu, mengapa muhammadiyah bersih kukuh menggunakan metode hisab? Berikut adalah alasan-alasan yang diringkaskan dari makalah Prof. Dr. Syamsul anwar, M.A yang di sampaikan dalam pengajian ramadhan 1431 H PP Muhammadiyah di kampus terpadu UMY.

Hisab yang dipakai muhammadiyah adalah hisab wujud al hilal, yaitu metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan qamariyah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter:
1.      Telah terjadi konjungsi atau ijtimak
2.      Ijtimak itu terjadi sebelum matahari terbenam
3.      Pada saat matahari terbenam bulan berada diatas ufuk.
Sedangkan argumen mengapa muhammadiyah memilih metode hisab, bukan rukyat, adalah sebagai berikut.

Pertama, semangat al-qur’an adalah menggunkan hisab. Hal ini ada dalam ayat “ matahari dan bulan beredar  menurut perhitungan”(QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau di prediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS YUNUS(10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Azzaraqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat(beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena umat zaman nabi saw adalah umat yang ummi, tikad kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini si tegaskan oleh rasulullah saw dalam hadits “sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari” (H.R Bukhari & Muslim). Dalam kaidah fikhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu konidisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada(sudah ada hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salaf murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan qamariyah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat dimana tidak ada orang yang mengetahui hisab.

Ketiga, dengan rukyat umat islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa di ketahui pada H-1. Dr. Nidhi Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.

Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat islam berbeda memulai bulan qamariyah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitaas pertama mengcover seluruh muka bumi. Padahal hari yang sama ada muka bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan kawasan antartika yang siang pada musim melebihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24jam.

Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa di berlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang yang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan qamariyah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat di pertahankan.

Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan qamariyah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa arafah karena wukuf di arafah jatuh bersama dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Dzulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu pandangan waktu yang pasti dan komrehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat. Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Tawimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir alKhittami wa at Tausyiyah) menyebutkan :”Masalah penggunaan hisab, para peserta menyepakati bahwa pemecah problematika penentuan bulan qamariahdi kalangan umat islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan qamariyah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.