Senin, 26 Oktober 2015

PENGARUH PENGETAHUAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PEMBENTUKAN POLA PIKIR MASYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang

Munculnya sungai yang kumuh merupakan sebuah permasalahan yang sering dihadapi sejumlah kota besar di Indonesia. Minimnya penyediaan sarana dan prasarana, umumnya dilatarbelakangi oleh permasalahan legalitas sungai tersebut, sehingga berdampak kepada keburukan kualitas lingkungan. Sebagai contoh, dengan tidak tersedianya sarana persampahan maka masyarakat akan cenderung mencemari sungai dengan sampah sehingga timbulan sampah akan mengalami dampak yang kurang baik. 
Menurut Wibowo dan Darwin (2006:1) persampahan telah menjadi agenda permasalahan utama yang dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di Indonesia. Faktor keberhasilan pelaksanaan pengelolaan sampah sepenuhnya  akan tergantung pada kemauan Pemerintah Daerah atau Kota dan masyarakat. Kemauan ini dapat di mulai dari pemahaman pola pikir dan kesadaran akan pentingnya sektor  pengelolaan sampah  sebagai salah satu pencerminan keberhasilan dalam hal lingkungan yang sehat.
Seperti tipikal rumah yang berada di wilayah bantaran sungai, permukiman di kampung ini juga memiliki masalah dengan ketersediaan prasarana air bersih, ketersediaan sistem sanitasi yang layak dan sarana persampahan. Sampah domestik yang di produksi oleh masyarakat di buang secara sembarangan di sekitar lingkungan sungai dan terlihat menumpuk. Hal tersebut akan menimbulkan sulitnya pembersihan sampah yang menumpuk di bantaran sungai yang berlumpur. Pasang surut air sungai juga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap timbulnya sampah di kawasan ini, air sungai yang membawa sampah dari tempat lain sering tersangkut, pada saat surut sampah bawaan tersebut menumpuk bercampur dengan genangan air sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap.
Sisi lain, motivasi masyarakat dalam mengelola sampah sampai saat ini belum nampak kemunculannya. Pola hidup masyarakat yang masih mengedepankan pemenuhan kebutuhan hidup atau ekonomi menjadikan masalah pengelolaan sampah sebagai permasalahan yang belum menjadi prioritas untuk ditangani. Perilaku dan kebiasaan masyarakat atau individu untuk mengelola sampah belum mengarah kepada perilaku yang positif seperti membuang sampah pada tempatnya atau mengumpulkan sampah-sampah domestik dari rumah tangga ke tempat pengumpulan sampah komunal.
Pola pengelolaan sampah dengan melibatkan masyarakat sebagai aktor yang dapat berperan aktif dalam mengurangi volume sampah merupakan keputusan yang tepat dalam mengantisipasi peningkatan jumlah volume sampah perkotaan yang terus meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk. Peran aktif masyarakat atau individu dapat dimulai dengan melaksanakan perilaku positif dalam mengelola sampah seperti pengumpulan, pewadahan, pemilahan dan melakukan daur ulang sampah untuk mengurangi volume dan persebaran sampah.

A.      Identifikasi Masalah
Dalam latar belakang tersebut, penulis menyusun identifikasi masalah kedalam beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pola pikir masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana mengurangi perilaku-perilaku masyarakat yang kurang baik seperti halnya membuang sampah tidak pada tempatnya dan mengotori sungai ?
2.      Sejauh mana pengaruh lingkungan terhadap pembentukan pola pikir masyarakat ?
3.      Apakah pola pikir masyarakat sudah tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang bernuansa lingkungan kumuh?
4.      Bagaimana upaya masyarakat dalam pengaruh lingkungan hidup?
5.      Bagaimana masyarakat memantau yang berada di lingkungan sungai?

B.       Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas, maka dalam penyusunan makalah ini penulis merumuskan masalah, yaitu:
1.      Bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan?
2.      Apakah peranan sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat?
3.      Bagaimana budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon?
4.      Apakah teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan?

C.      Tujuan
Dari Rumusan masalah ini, maka penulis dapat menjabarkan tujuannya sebagai berikut:
1.       Menggambarkan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan.
2.      Menggambarkan peranan sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat.
3.      Menggambarkan budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon.
4.      Menggambarkan seberapa besar pengaruh teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
BAB II
LANDASAN AGAMA, LANDASAN HUKUM, DAN TINJAUAN TEORI


A.      Landasan Agama
Dalam kehidupan manusia tidak dapat mengabaikan peranan Allah SWT melalui alam semesta (lingkungan). Manusia tidak dapat mengingkari kebutuhan akan sumberdaya alam yang disediakan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Demikian pula manusia tidak dapat mengabaikan dan menutup mata pada kerusakan yang terjadi akibat aktivitas yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Allah telah menjelaskan dalam Qur’an Surat Ar-Rumm ayat 41 yang berbunyi:
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ  
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ini membuktikan bahwasannya ketika Allah menurunkan peringatan kepada manusia, sudah sepantasnya manusia harus sadar akan pemeliharaan lingkungan, padahal sejak zaman nenek moyang terdahulu, manusia mampu mempertahankan kehidupannya dibumi karena berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bencana akan menimbulkan perhatian yang makin besar ketika manusia tidak bertindak lebih baik.




B.       Landasan Hukum
Ditinjau dari berbagai aspek, indonesia adalah negara hukum. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang lingkup dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Merujuk pada definisi diatas, maka lingkungan hidup indonesia tidak lain merupakan wawasan nusantara. Secara hukum maka wawasan nusantara dalam menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

C.      Tinjauan Teori
1.    Teori Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.




2.    Teori Ekosentrisme
Ekosentrisme Berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

3.    Teori Egosentris
Etika yang mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa yang baik bagi individu adalah baik untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri sendiri secara terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4). Inti dari pandangan egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan: Bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri.
Dengan demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini didasarkan pada berbagai pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan dengan teori sosial liberal.




4.    Teori Biosentrisme
Teori Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).
Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
 Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory (hidup sebagai pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land ethic (etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold, dan equal treatment (perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.

5.    Etika Homosentris
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan sosial dan pendekatan antara pelaku lingkungan yang melindungi sebagian besar masyarakat manusia.
Etika homosentris sama dengan etika utilitarianisme, jadi, jika etika egosentris mendasarkan penilaian baik dan buruk suatu tindakan itu pada tujuan dan akibat tindakan itu bagi individu, maka etika utilitarianisme ini menilai baik buruknya suatu tindakan itu berdasarkan pada tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika homosentris atau utilitarianisme ini sama dengan universalisme etis. Disebut universalisme karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis karena ia menekankan akibat yang baik. Disebut utilitarianisme karena ia menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau manfaat dari tindakan tersebut (Sonny Keraf, 1990:34).
Seperti halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi pengetahuan mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara organis dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh pada bagian lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang utilitaris, etika utilitarianisme ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber alam dengan dalih demi kepentingan dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto, 1990:16).

6.    Etika Ekosentris
Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran  etis ekologi tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243).
Menurut etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air, tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah  perah “homo sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga dirinya. terdapat rasa hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap komunitas alam itu sendiri (J. Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto (1992:20) menjelaskan:
a.       Segala sesuati itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi kehancuran ekosistem.
b.      Keseluruhan lebih daripada penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada penjumlahan efek-efek individual.
c.       Makna tergantung pada konteksnya, sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
d.      Merupakan proses untuk mengetahui berbagai bagian.
e.       Alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi organik yang sama.
Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.       Kepedulian lingkungan yang “dangkal” (shallow ecology)
b.      Kepedulian lingkungan yang “dalam” (deep ecology).
Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto, 1992:22).



7.    Teosentrisme
Teosentrisme merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Pada teosentrism, konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur hubungan manusia dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah ditekankan dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana (THK), dimana dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).
8.    Teori  Nikomakea
Teori  Nikomakea (bahasa Inggris: 'Nicomachean Ethics'), atau Ta Ethika, adalah karya Aristoteles tentang kebajikan dan karakter moral yang memainkan peranan penting dalam mendefinisikan etika Aristoteles. Kesepuluh buku yang menjadi etika ini didasarkan pada catatan-catatan dari kuliah-kuliahnya di Lyceum dan disunting atau dipersembahkan kepada anak lelaki Aristoteles, Nikomakus.
Teori  Nikomakea memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bajik pula. Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis, dan kemampuan dari orang yang bajik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil. Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia adalah tujuan hidup, dan bahwa ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami dengan tepat, akan menghasilkan perilaku yang bajik.

9.    Zoosentrisme
Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.

10.     Antroposentris
Antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.   
  Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
a.       Manusia terpisah dari alam.
b.      Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
c.       Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.
d.      Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia.
e.       Norma utama adalah untung rugi.
f.       Mengutamakan rencana jangka pendek.
g.      Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin.
h.      Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi.
Banyak ahli yang mengemukakan teori kesadaran lingkungan. Hasil penelitian teoritik tentang kesadaran lingkungan hidup dari Neolaka (1991), menyatakan bahwa kesadaran lingkungan adalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam hal ini lingkungan hidup, dan dapat terlihat pada prilaku dan tindakan masing-masing individu. Hussel yang dikutip Brawer (1986), menyatakan bahwa kesadaran adalah pikiran sadar (pengetahuan) yang mengatur akal, hidup wujud yang sadar, bagian dari sikap atau prilaku, yang dilukiskan sebagai gejala dalam alam dan harus dijelaskan berdasarkan prinsip sebab musebab. Tindakan sebab, pikiran inilah menggugah jiwa untuk membuat pilihan, misalnya memilih baik-buruk, indah-jelek.
Buletin Para Navigator (1988), menyatakan bahwa kesadaran adalah modal utama bagi setiap orang yang ingin maju. Secara garis besar sadar itu dapat diukur dari beberapa aspek antara lain : kemampuan membuka mata dan menafsirkan apa yang dilihat, kemampuan aktivitas, dan kemampuan berbicara. Jika seseorang mampu melakukan ketiga aspek diatas secara terintegrasi maka dialah yang disebut dengan sadar. Dari segi lain kesadaran adalah adanya hak dan kemapuan kita untuk menolak melakukan keinginan orang lain atau sesuatu yang diketahui buruk/tidak bermanfaat bagi dirinya.
Kesadaran lingkungan menurut M.T Zen (1985) adalah usaha melibatkan setiap warga Negara dalam menumbuhkan dan membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu tata nilai dari pada lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai dengan alam lingkungannya (Neolaka; 2008) Menurut Emil Salim (1982), kesadaran lingkungan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya tahu tentang sampah, pencemaran, penghijauan, dan perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua, membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia khususnya pemuda masa kini agar mencintaim tanah iar.
Daniel Chiras (Neolaka;2008) menyatakan bahwa dasar penyebab kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan. Etika lingkungan yang sampai saat ini berlaku adalah etika lingkungan yang didasarkan pada sistem nilai yang mendudukkan manusia bukan bagian dari alam, tetapi manusia sebagai penakluk dan pengatur alam. Didalam pendidikan lingkungan hidup, konsep mental tentang manusia sebagai penakluk alam perlu diubah menjadi manusia sebagai bagian dari alam.
Dari teori-teori kesadaran lingkungan diatas maka dapat diberikan pengertian sebagai berikut, Kesadaran adalah pengetahuan. Sadar sama dengan tahu. Pengetahuan tentang hal yang nyata, konkret, dimaksudkan adalah pengetahuan yang mendalam (menggugah jiwa), tahu sungguh-sungguh, dan tidak salah. Tidak asal mengetahui atau tahu, sebab banyak orang tahu pentingnya lingkungan hidup tetapi belum tentu sadar karena tindakan atau perilaku merusak lingkungan atau tidak mendukung terciptanya kelestarian lingkungan hidup. Kesadaran adalah bagian dari sikap atau perilaku. Pengertian kesadaran yang ada sebagian dari sikap menjadi benar jika setiap perilaku yang ditunjukkan terus bertambah dan menjadi sifat hidupnya. Contoh yang dikaitkan dengan lingkungan yaitu terdapatnya larangan untuk tidak membuang sampah kesungai atau saluran, maka sebagai manusia yang sadar lingkungan harus mentaati larangan tersebut dengan tidak membuang sampah ke sungai. Dikatakan demikian karena menurut teori kesadaran adalah pengetahuan dan merupakan bagian dari sikap atau tindakan (Maftuchah Yusuf, dalam Neolaka; 2008)