BAB I
PENDAHULUAN
Munculnya sungai
yang kumuh merupakan sebuah permasalahan yang sering dihadapi sejumlah kota
besar di Indonesia. Minimnya penyediaan sarana dan prasarana, umumnya
dilatarbelakangi oleh permasalahan legalitas sungai tersebut, sehingga berdampak
kepada keburukan kualitas lingkungan. Sebagai contoh, dengan tidak tersedianya
sarana persampahan maka masyarakat akan cenderung mencemari sungai dengan
sampah sehingga timbulan sampah akan mengalami dampak yang kurang baik.
Menurut
Wibowo dan Darwin (2006:1) persampahan telah menjadi agenda permasalahan utama
yang dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di Indonesia. Faktor keberhasilan
pelaksanaan pengelolaan sampah sepenuhnya
akan tergantung pada kemauan Pemerintah Daerah atau Kota dan masyarakat.
Kemauan ini dapat di mulai dari pemahaman pola pikir dan kesadaran akan
pentingnya sektor pengelolaan
sampah sebagai salah satu pencerminan
keberhasilan dalam hal lingkungan yang sehat.
Seperti tipikal rumah yang berada di wilayah bantaran
sungai, permukiman di kampung ini juga memiliki masalah dengan ketersediaan
prasarana air bersih, ketersediaan sistem sanitasi yang layak dan sarana
persampahan. Sampah domestik yang di produksi oleh masyarakat di buang secara
sembarangan di sekitar lingkungan sungai dan terlihat menumpuk. Hal tersebut
akan menimbulkan sulitnya pembersihan sampah yang menumpuk di bantaran sungai
yang berlumpur. Pasang surut air sungai juga memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap timbulnya sampah di kawasan ini, air sungai yang membawa
sampah dari tempat lain sering tersangkut, pada saat surut sampah bawaan
tersebut menumpuk bercampur dengan genangan air sehingga menimbulkan bau yang
tidak sedap.
Sisi lain,
motivasi masyarakat dalam mengelola sampah sampai saat ini belum nampak
kemunculannya. Pola hidup masyarakat yang masih mengedepankan pemenuhan
kebutuhan hidup atau ekonomi menjadikan masalah pengelolaan sampah sebagai
permasalahan yang belum menjadi prioritas untuk ditangani. Perilaku dan
kebiasaan masyarakat atau individu untuk mengelola sampah belum mengarah kepada
perilaku yang positif seperti membuang sampah pada tempatnya atau mengumpulkan
sampah-sampah domestik dari rumah tangga ke tempat pengumpulan sampah komunal.
Pola pengelolaan
sampah dengan melibatkan masyarakat sebagai aktor yang dapat berperan aktif
dalam mengurangi volume sampah merupakan keputusan yang tepat dalam
mengantisipasi peningkatan jumlah volume sampah perkotaan yang terus meningkat
akibat peningkatan jumlah penduduk. Peran aktif masyarakat atau individu dapat
dimulai dengan melaksanakan perilaku positif
dalam
mengelola sampah seperti pengumpulan, pewadahan, pemilahan dan melakukan daur
ulang sampah untuk mengurangi volume dan persebaran sampah.
A.
Identifikasi
Masalah
Dalam
latar belakang tersebut, penulis
menyusun identifikasi masalah kedalam beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
pola pikir masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana
mengurangi perilaku-perilaku masyarakat yang kurang baik seperti halnya membuang
sampah tidak pada tempatnya dan mengotori sungai ?
2.
Sejauh
mana pengaruh lingkungan terhadap pembentukan pola pikir masyarakat ?
3.
Apakah
pola pikir masyarakat sudah tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang
bernuansa lingkungan kumuh?
4.
Bagaimana
upaya masyarakat dalam pengaruh lingkungan hidup?
5.
Bagaimana
masyarakat memantau yang berada di lingkungan sungai?
B.
Rumusan
Masalah
Dari
identifikasi masalah diatas, maka dalam penyusunan makalah ini penulis
merumuskan masalah, yaitu:
1.
Bagaimana
tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan?
2.
Apakah peranan
sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat?
3.
Bagaimana
budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon?
4.
Apakah
teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan?
C.
Tujuan
Dari
Rumusan masalah ini, maka penulis dapat menjabarkan tujuannya sebagai berikut:
1.
Menggambarkan tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap lingkungan.
2.
Menggambarkan
peranan sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat.
3.
Menggambarkan
budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon.
4.
Menggambarkan
seberapa besar pengaruh teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
BAB II
LANDASAN AGAMA, LANDASAN HUKUM, DAN
TINJAUAN TEORI
A.
Landasan
Agama
Dalam kehidupan manusia tidak dapat mengabaikan peranan Allah SWT melalui alam semesta
(lingkungan). Manusia tidak dapat mengingkari kebutuhan akan sumberdaya alam
yang disediakan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Demikian
pula manusia tidak dapat mengabaikan dan menutup mata pada kerusakan yang
terjadi akibat aktivitas yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Allah telah menjelaskan dalam Qur’an Surat Ar-Rumm ayat 41 yang berbunyi:
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt ÇÍÊÈ
Artinya:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ini membuktikan
bahwasannya ketika Allah menurunkan peringatan kepada manusia, sudah
sepantasnya manusia harus sadar akan pemeliharaan lingkungan, padahal sejak
zaman nenek moyang terdahulu, manusia mampu mempertahankan kehidupannya dibumi
karena berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bencana akan menimbulkan
perhatian yang makin besar ketika manusia tidak bertindak lebih baik.
B.
Landasan Hukum
Ditinjau
dari berbagai aspek, indonesia adalah negara hukum. Dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2009, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang lingkup dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Merujuk
pada definisi diatas, maka lingkungan hidup indonesia tidak lain merupakan
wawasan nusantara. Secara hukum maka wawasan nusantara dalam menyelenggarakan
penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan
Nusantara.
C.
Tinjauan
Teori
1.
Teori
Antroposentrisme
Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langung.
Nilai
tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai
dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh
karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan
manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
2.
Teori
Ekosentrisme
Ekosentrisme
Berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme
yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya,
ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang
hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda
abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan
tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
3.
Teori
Egosentris
Etika yang
mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris
didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan
tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa
yang baik bagi individu adalah baik untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya
mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang
menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri sendiri secara
terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4). Inti dari pandangan
egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan: Bahwa tindakan dari setiap
orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan
diri sendiri.
Dengan
demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai
pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini
didasarkan pada berbagai pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan
dengan teori sosial liberal.
4.
Teori
Biosentrisme
Teori
Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga
komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia.
Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup
(biotic community).
Inti
pemikiran biosentrisme adalah bahwa
setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi
moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan
dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern
moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara
kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan
kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
Biosentrisme
memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory (hidup sebagai
pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land ethic
(etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold, dan equal treatment
(perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
5.
Etika
Homosentris
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan
sebagian masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan
sosial dan pendekatan antara pelaku lingkungan yang melindungi sebagian besar
masyarakat manusia.
Etika
homosentris sama dengan etika utilitarianisme, jadi, jika
etika egosentris mendasarkan penilaian baik dan buruk suatu tindakan itu pada
tujuan dan akibat tindakan itu bagi individu, maka etika utilitarianisme ini
menilai baik buruknya suatu tindakan itu berdasarkan pada tujuan dan akibat
dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika homosentris atau
utilitarianisme ini sama dengan universalisme etis. Disebut universalisme
karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis
karena ia menekankan akibat yang baik. Disebut utilitarianisme karena ia
menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau manfaat dari
tindakan tersebut (Sonny Keraf, 1990:34).
Seperti
halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi pengetahuan
mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis
mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara organis
dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh pada
bagian lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang utilitaris,
etika utilitarianisme ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber alam dengan
dalih demi kepentingan dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto, 1990:16).
6.
Etika
Ekosentris
Etika
ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan
dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran etis ekologi
tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai
alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut
ekosentrisme, hal yang paling penting
adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen
ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki
tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243).
Menurut
etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air,
tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah perah
“homo sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga
dirinya. terdapat rasa hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap
komunitas alam itu sendiri (J. Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris
bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi
dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto
(1992:20) menjelaskan:
a.
Segala sesuati itu saling
berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi
adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak
ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika
perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi
kehancuran ekosistem.
b.
Keseluruhan lebih daripada
penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu
yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak
bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian
yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada
penjumlahan efek-efek individual.
c.
Makna tergantung pada konteksnya,
sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian
mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
d.
Merupakan proses untuk mengetahui
berbagai bagian.
e.
Alam manusia dan alam non manusia
adalah satu. Dalam holistik tidak
terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem
kosmologi organik yang sama.
Uraian di
atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf Norwegia bahwa
kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Kepedulian lingkungan yang “dangkal”
(shallow ecology)
Kepedulian
ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan bahwa
hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk
individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto,
1992:22).
7.
Teosentrisme
Teosentrisme
merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan secara
keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Pada teosentrism,
konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur hubungan manusia
dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah ditekankan
dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana (THK), dimana
dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan
manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).
8.
Teori
Nikomakea
Teori
Nikomakea (bahasa Inggris: 'Nicomachean Ethics'), atau Ta Ethika, adalah
karya Aristoteles tentang kebajikan dan karakter moral yang memainkan peranan penting
dalam mendefinisikan etika Aristoteles. Kesepuluh buku yang menjadi etika
ini didasarkan pada catatan-catatan dari kuliah-kuliahnya di Lyceum dan disunting atau dipersembahkan
kepada anak lelaki Aristoteles, Nikomakus.
Teori
Nikomakea memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan
berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bajik pula. Aristoteles
menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis, dan kemampuan dari orang
yang bajik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil. Aristoteles
berpendapat bahwa eudaimonia adalah tujuan hidup, dan bahwa
ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami dengan tepat, akan menghasilkan
perilaku yang bajik.
9.
Zoosentrisme
Zoosentrisme
adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini
juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles
Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan
karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga
bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan
salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty
to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral
memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.
10.
Antroposentris
Antroposentris
yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang
mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan
dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove
dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka
kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika
antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan
pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus
manusia.
Etika
yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia.
Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
a.
Manusia terpisah dari alam.
b.
Mengutamakan hak-hak manusia atas
alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
c.
Mengutamakan perasaan manusia
sebagai pusat keprihatinannya.
d.
Kebijakan dan manajemen sunber daya
alam untuk kepentingan manusia.
e.
Norma utama adalah untung rugi.
f.
Mengutamakan rencana jangka pendek.
g.
Pemecahan krisis ekologis melalui
pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin.
h. Menerima
secara positif pertumbuhan ekonomi.
Banyak ahli yang mengemukakan teori
kesadaran lingkungan. Hasil penelitian teoritik
tentang kesadaran lingkungan hidup dari Neolaka (1991), menyatakan bahwa
kesadaran lingkungan adalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam
hal ini lingkungan hidup, dan dapat terlihat pada prilaku dan tindakan
masing-masing individu. Hussel yang dikutip Brawer (1986), menyatakan bahwa
kesadaran adalah pikiran sadar (pengetahuan) yang mengatur akal, hidup wujud
yang sadar, bagian dari sikap atau prilaku, yang dilukiskan sebagai gejala
dalam alam dan harus dijelaskan berdasarkan prinsip sebab musebab. Tindakan
sebab, pikiran inilah menggugah jiwa untuk membuat pilihan, misalnya memilih
baik-buruk, indah-jelek.
Buletin Para Navigator (1988),
menyatakan bahwa kesadaran adalah modal utama bagi setiap orang yang ingin
maju. Secara garis besar sadar itu dapat diukur dari beberapa aspek antara lain
: kemampuan membuka mata dan menafsirkan apa yang dilihat, kemampuan aktivitas,
dan kemampuan berbicara. Jika seseorang mampu melakukan ketiga aspek diatas
secara terintegrasi maka dialah yang disebut dengan sadar. Dari segi lain
kesadaran adalah adanya hak dan kemapuan kita untuk menolak melakukan keinginan
orang lain atau sesuatu yang diketahui buruk/tidak bermanfaat bagi dirinya.
Kesadaran lingkungan menurut M.T Zen
(1985) adalah usaha melibatkan setiap warga Negara dalam menumbuhkan dan
membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu
tata nilai dari pada lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai
dengan alam lingkungannya (Neolaka; 2008) Menurut Emil Salim (1982), kesadaran
lingkungan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya tahu
tentang sampah, pencemaran, penghijauan, dan perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada
itu semua, membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia khususnya
pemuda masa kini agar mencintaim tanah iar.
Daniel Chiras (Neolaka;2008)
menyatakan bahwa dasar penyebab kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan.
Etika lingkungan yang sampai saat ini berlaku adalah etika lingkungan yang
didasarkan pada sistem nilai yang mendudukkan manusia bukan bagian dari alam,
tetapi manusia sebagai penakluk dan pengatur alam. Didalam pendidikan
lingkungan hidup, konsep mental
tentang manusia sebagai penakluk alam perlu diubah menjadi manusia sebagai
bagian dari alam.
Dari teori-teori kesadaran
lingkungan diatas maka dapat diberikan pengertian sebagai berikut, Kesadaran
adalah pengetahuan. Sadar sama dengan tahu. Pengetahuan tentang hal yang nyata,
konkret, dimaksudkan adalah pengetahuan yang
mendalam (menggugah jiwa), tahu sungguh-sungguh, dan tidak salah. Tidak asal
mengetahui atau tahu, sebab banyak orang tahu pentingnya lingkungan hidup
tetapi belum tentu sadar karena tindakan atau perilaku merusak lingkungan atau tidak
mendukung terciptanya kelestarian lingkungan hidup. Kesadaran adalah bagian dari sikap atau perilaku.
Pengertian kesadaran yang ada
sebagian dari sikap menjadi benar jika setiap perilaku yang ditunjukkan terus
bertambah dan menjadi sifat hidupnya. Contoh yang dikaitkan dengan lingkungan
yaitu terdapatnya larangan untuk tidak membuang sampah kesungai atau saluran,
maka sebagai manusia yang sadar lingkungan harus mentaati larangan tersebut
dengan tidak membuang sampah ke sungai. Dikatakan demikian karena menurut teori
kesadaran adalah pengetahuan dan merupakan bagian dari sikap atau tindakan
(Maftuchah Yusuf, dalam Neolaka; 2008)