Senin, 26 Oktober 2015

PENGARUH PENGETAHUAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PEMBENTUKAN POLA PIKIR MASYARAKAT


PENGARUH PENGETAHUAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP PEMBENTUKAN POLA PIKIR MASYARAKAT

MAKALAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Mengikuti Ujian Akhir Semester
Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya dan Teknologi


Oleh:
Fadli Adin Budiarjo
NIM: 110641068



PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2013

BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Munculnya sungai yang kumuh merupakan sebuah permasalahan yang sering dihadapi sejumlah kota besar di Indonesia. Minimnya penyediaan sarana dan prasarana, umumnya dilatarbelakangi oleh permasalahan legalitas sungai tersebut, sehingga berdampak kepada keburukan kualitas lingkungan. Sebagai contoh, dengan tidak tersedianya sarana persampahan maka masyarakat akan cenderung mencemari sungai dengan sampah sehingga timbulan sampah akan mengalami dampak yang kurang baik. 
Menurut Wibowo dan Darwin (2006:1) persampahan telah menjadi agenda permasalahan utama yang dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di Indonesia. Faktor keberhasilan pelaksanaan pengelolaan sampah sepenuhnya  akan tergantung pada kemauan Pemerintah Daerah atau Kota dan masyarakat. Kemauan ini dapat di mulai dari pemahaman pola pikir dan kesadaran akan pentingnya sektor  pengelolaan sampah  sebagai salah satu pencerminan keberhasilan dalam hal lingkungan yang sehat.
Seperti tipikal rumah yang berada di wilayah bantaran sungai, permukiman di kampung ini juga memiliki masalah dengan ketersediaan prasarana air bersih, ketersediaan sistem sanitasi yang layak dan sarana persampahan. Sampah domestik yang di produksi oleh masyarakat di buang secara sembarangan di sekitar lingkungan sungai dan terlihat menumpuk. Hal tersebut akan menimbulkan sulitnya pembersihan sampah yang menumpuk di bantaran sungai yang berlumpur. Pasang surut air sungai juga memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap timbulnya sampah di kawasan ini, air sungai yang membawa sampah dari tempat lain sering tersangkut, pada saat surut sampah bawaan tersebut menumpuk bercampur dengan genangan air sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap.
Sisi lain, motivasi masyarakat dalam mengelola sampah sampai saat ini belum nampak kemunculannya. Pola hidup masyarakat yang masih mengedepankan pemenuhan kebutuhan hidup atau ekonomi menjadikan masalah pengelolaan sampah sebagai permasalahan yang belum menjadi prioritas untuk ditangani. Perilaku dan kebiasaan masyarakat atau individu untuk mengelola sampah belum mengarah kepada perilaku yang positif seperti membuang sampah pada tempatnya atau mengumpulkan sampah-sampah domestik dari rumah tangga ke tempat pengumpulan sampah komunal.
Pola pengelolaan sampah dengan melibatkan masyarakat sebagai aktor yang dapat berperan aktif dalam mengurangi volume sampah merupakan keputusan yang tepat dalam mengantisipasi peningkatan jumlah volume sampah perkotaan yang terus meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk. Peran aktif masyarakat atau individu dapat dimulai dengan melaksanakan perilaku positif dalam mengelola sampah seperti pengumpulan, pewadahan, pemilahan dan melakukan daur ulang sampah untuk mengurangi volume dan persebaran sampah.

B.       Identifikasi Masalah
Dalam latar belakang tersebut, penulis menyusun identifikasi masalah kedalam beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan pola pikir masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana mengurangi perilaku-perilaku masyarakat yang kurang baik seperti halnya membuang sampah tidak pada tempatnya dan mengotori sungai ?
2.      Sejauh mana pengaruh lingkungan terhadap pembentukan pola pikir masyarakat ?
3.      Apakah pola pikir masyarakat sudah tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang bernuansa lingkungan kumuh?
4.      Bagaimana upaya masyarakat dalam pengaruh lingkungan hidup?
5.      Bagaimana masyarakat memantau yang berada di lingkungan sungai?

C.      Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas, maka dalam penyusunan makalah ini penulis merumuskan masalah, yaitu:
1.      Bagaimana tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan?
2.      Apakah peranan sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat?
3.      Bagaimana budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon?
4.      Apakah teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan?

D.      Tujuan
Dari Rumusan masalah ini, maka penulis dapat menjabarkan tujuannya sebagai berikut:
1.       Menggambarkan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan.
2.      Menggambarkan peranan sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat.
3.      Menggambarkan budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon.
4.      Menggambarkan seberapa besar pengaruh teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
BAB II
LANDASAN AGAMA, LANDASAN HUKUM, DAN TINJAUAN TEORI


A.      Landasan Agama
Dalam kehidupan manusia tidak dapat mengabaikan peranan Allah SWT melalui alam semesta (lingkungan). Manusia tidak dapat mengingkari kebutuhan akan sumberdaya alam yang disediakan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Demikian pula manusia tidak dapat mengabaikan dan menutup mata pada kerusakan yang terjadi akibat aktivitas yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Allah telah menjelaskan dalam Qur’an Surat Ar-Rumm ayat 41 yang berbunyi:
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ƒÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_ötƒ ÇÍÊÈ  
Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ini membuktikan bahwasannya ketika Allah menurunkan peringatan kepada manusia, sudah sepantasnya manusia harus sadar akan pemeliharaan lingkungan, padahal sejak zaman nenek moyang terdahulu, manusia mampu mempertahankan kehidupannya dibumi karena berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bencana akan menimbulkan perhatian yang makin besar ketika manusia tidak bertindak lebih baik.




B.       Landasan Hukum
Ditinjau dari berbagai aspek, indonesia adalah negara hukum. Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang lingkup dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Merujuk pada definisi diatas, maka lingkungan hidup indonesia tidak lain merupakan wawasan nusantara. Secara hukum maka wawasan nusantara dalam menyelenggarakan penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

C.      Tinjauan Teori
1.    Teori Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.




2.    Teori Ekosentrisme
Ekosentrisme Berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

3.    Teori Egosentris
Etika yang mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa yang baik bagi individu adalah baik untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri sendiri secara terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4). Inti dari pandangan egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan: Bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan diri sendiri.
Dengan demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini didasarkan pada berbagai pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan dengan teori sosial liberal.




4.    Teori Biosentrisme
Teori Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).
Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
 Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory (hidup sebagai pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land ethic (etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold, dan equal treatment (perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.

5.    Etika Homosentris
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan sosial dan pendekatan antara pelaku lingkungan yang melindungi sebagian besar masyarakat manusia.
Etika homosentris sama dengan etika utilitarianisme, jadi, jika etika egosentris mendasarkan penilaian baik dan buruk suatu tindakan itu pada tujuan dan akibat tindakan itu bagi individu, maka etika utilitarianisme ini menilai baik buruknya suatu tindakan itu berdasarkan pada tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika homosentris atau utilitarianisme ini sama dengan universalisme etis. Disebut universalisme karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis karena ia menekankan akibat yang baik. Disebut utilitarianisme karena ia menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau manfaat dari tindakan tersebut (Sonny Keraf, 1990:34).
Seperti halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi pengetahuan mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara organis dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh pada bagian lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang utilitaris, etika utilitarianisme ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber alam dengan dalih demi kepentingan dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto, 1990:16).

6.    Etika Ekosentris
Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran  etis ekologi tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243).
Menurut etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air, tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah  perah “homo sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga dirinya. terdapat rasa hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap komunitas alam itu sendiri (J. Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto (1992:20) menjelaskan:
a.       Segala sesuati itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi kehancuran ekosistem.
b.      Keseluruhan lebih daripada penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada penjumlahan efek-efek individual.
c.       Makna tergantung pada konteksnya, sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
d.      Merupakan proses untuk mengetahui berbagai bagian.
e.       Alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi organik yang sama.
Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.       Kepedulian lingkungan yang “dangkal” (shallow ecology)
b.      Kepedulian lingkungan yang “dalam” (deep ecology).
Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto, 1992:22).



7.    Teosentrisme
Teosentrisme merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Pada teosentrism, konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur hubungan manusia dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah ditekankan dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana (THK), dimana dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).
8.    Teori  Nikomakea
Teori  Nikomakea (bahasa Inggris: 'Nicomachean Ethics'), atau Ta Ethika, adalah karya Aristoteles tentang kebajikan dan karakter moral yang memainkan peranan penting dalam mendefinisikan etika Aristoteles. Kesepuluh buku yang menjadi etika ini didasarkan pada catatan-catatan dari kuliah-kuliahnya di Lyceum dan disunting atau dipersembahkan kepada anak lelaki Aristoteles, Nikomakus.
Teori  Nikomakea memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bajik pula. Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis, dan kemampuan dari orang yang bajik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil. Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia adalah tujuan hidup, dan bahwa ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami dengan tepat, akan menghasilkan perilaku yang bajik.

9.    Zoosentrisme
Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.

10.     Antroposentris
Antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.   
  Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
a.       Manusia terpisah dari alam.
b.      Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
c.       Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.
d.      Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia.
e.       Norma utama adalah untung rugi.
f.       Mengutamakan rencana jangka pendek.
g.      Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin.
h.      Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi.
Banyak ahli yang mengemukakan teori kesadaran lingkungan. Hasil penelitian teoritik tentang kesadaran lingkungan hidup dari Neolaka (1991), menyatakan bahwa kesadaran lingkungan adalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam hal ini lingkungan hidup, dan dapat terlihat pada prilaku dan tindakan masing-masing individu. Hussel yang dikutip Brawer (1986), menyatakan bahwa kesadaran adalah pikiran sadar (pengetahuan) yang mengatur akal, hidup wujud yang sadar, bagian dari sikap atau prilaku, yang dilukiskan sebagai gejala dalam alam dan harus dijelaskan berdasarkan prinsip sebab musebab. Tindakan sebab, pikiran inilah menggugah jiwa untuk membuat pilihan, misalnya memilih baik-buruk, indah-jelek.
Buletin Para Navigator (1988), menyatakan bahwa kesadaran adalah modal utama bagi setiap orang yang ingin maju. Secara garis besar sadar itu dapat diukur dari beberapa aspek antara lain : kemampuan membuka mata dan menafsirkan apa yang dilihat, kemampuan aktivitas, dan kemampuan berbicara. Jika seseorang mampu melakukan ketiga aspek diatas secara terintegrasi maka dialah yang disebut dengan sadar. Dari segi lain kesadaran adalah adanya hak dan kemapuan kita untuk menolak melakukan keinginan orang lain atau sesuatu yang diketahui buruk/tidak bermanfaat bagi dirinya.
Kesadaran lingkungan menurut M.T Zen (1985) adalah usaha melibatkan setiap warga Negara dalam menumbuhkan dan membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu tata nilai dari pada lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai dengan alam lingkungannya (Neolaka; 2008) Menurut Emil Salim (1982), kesadaran lingkungan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya tahu tentang sampah, pencemaran, penghijauan, dan perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada itu semua, membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia khususnya pemuda masa kini agar mencintaim tanah iar.
Daniel Chiras (Neolaka;2008) menyatakan bahwa dasar penyebab kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan. Etika lingkungan yang sampai saat ini berlaku adalah etika lingkungan yang didasarkan pada sistem nilai yang mendudukkan manusia bukan bagian dari alam, tetapi manusia sebagai penakluk dan pengatur alam. Didalam pendidikan lingkungan hidup, konsep mental tentang manusia sebagai penakluk alam perlu diubah menjadi manusia sebagai bagian dari alam.
Dari teori-teori kesadaran lingkungan diatas maka dapat diberikan pengertian sebagai berikut, Kesadaran adalah pengetahuan. Sadar sama dengan tahu. Pengetahuan tentang hal yang nyata, konkret, dimaksudkan adalah pengetahuan yang mendalam (menggugah jiwa), tahu sungguh-sungguh, dan tidak salah. Tidak asal mengetahui atau tahu, sebab banyak orang tahu pentingnya lingkungan hidup tetapi belum tentu sadar karena tindakan atau perilaku merusak lingkungan atau tidak mendukung terciptanya kelestarian lingkungan hidup.
Kesadaran adalah bagian dari sikap atau perilaku. Pengertian kesadaran yang ada sebagian dari sikap menjadi benar jika setiap perilaku yang ditunjukkan terus bertambah dan menjadi sifat hidupnya. Contoh yang dikaitkan dengan lingkungan yaitu terdapatnya larangan untuk tidak membuang sampah kesungai atau saluran, maka sebagai manusia yang sadar lingkungan harus mentaati larangan tersebut dengan tidak membuang sampah ke sungai. Dikatakan demikian karena menurut teori kesadaran adalah pengetahuan dan merupakan bagian dari sikap atau tindakan (Maftuchah Yusuf, dalam Neolaka; 2008)











BAB III
PEMBAHASAN PENGARUH LINGKUNGAN HIDUP DITINJAU DARI LINGKUNGAN, SOSIAL, BUDAYA, DAN TEKNOLOGI


A.      Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Lingkungan
Tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan sepertinya masih sangat kurang. Kedisiplinan dalam membuang sampah harusnya selalu diterapkan. Jika kita sedang berada diluar dan memang tidak ada tong sampah, sebaiknya kita bawa terlebih dahulu sampah tersebut sampai kita menemukan tempat sampah. Namun, realitanya banyak jalan pintas yang beranggapan sebuah kepantasan bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan, baik di jalan maupun di saluran air sungai seperti yang dilakukan oleh sebagian warga yang tinggal di kawasan Sungai Gesik.
Salah satu bentuk sumber pencemaran sungai-sungai terbesar di Indonesia juga merupakan limbah dari rumah tangga seperti plastik, bekas bungkusan makanan, bekas peralatan rumah tangga, bekas pakaian dan masih banyak yang belum bisa saya sebutkan. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di kawasan Sungai Gesik. Dimana sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan Sungai itu belum memiliki kesadaran akan pentingnya manfaat sungai untuk dilestarikan. Masyarakat disekitar kawasan Sungai mungkin belum menyadari bahwa aliran sungai berfungsi sebagai untuk manampung air limbah yang dikeluarkan dari rumah-rumah penduduk khususnya yang tinggal di kawasan pinggran sungai.
Akibat rendahnya tingkat kesadaran dari masyarakat itu sendiri, berdampak pada aroma yang tidak sedap akibat sampah-sampah yang dibuang warga kedalam sungai mulai membusuk. Selain aroma yang tidak sedap, kedalaman sungai juga semakin hari semakin rendah. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat untuk melestarikan lingkungan hidup, khusunya aliran sungai.
Padahal dalam Undang-Undang menyatakan, Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Ketika masyarakat mampu memahami akan baiknya lingkungan maka tikalah terjadi permasalahan yang seperti ini.

B.       Peranan Sosial Mempengaruhi Lingkungan Masyarakat
Aspek sosial dalam pembentukan perilaku individu maupun pola pikir masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah kondisi sosial kemasyarakatan yang mampu mempengaruhi baik positif maupun negatif terhadap individu maupun masyarakat dalam mengelola sampah sungai.
Warga Gesik yang sebagaian besar bekerja sebagai buruh swasta atau pegawai pabrik, pedagang kaki lima, secara tidak langsung mempengaruhi pola pengelolaan sampah di wilayah ini. Tingginya aktivitas rutin pekerjaan, bahkan tidak sedikit warga yang memiliki pekerjaan lebih dari satu bidang pekerjaan menyebabkan adanya kecenderungan kurangnya waktu untuk aktivitas interaksi sosial kemasyarakatan yang dapat berfungsi sebagai forum non formal terhadap pengembangan atau perbaikan kampung khususnya masalah persampahan sungai. Fenomena pembuangan sampah di sungai yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar dapat terjadi akibat mekanisme kontrol sosial yang tidak berjalan. Dengan tidak adanya sangsi, masyarakat menjadi leluasa dalam melakukan perilaku negatif tersebut.
Dari deskripsi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek sosial memiliki kecenderungan yang rendah dalam mendukung pengelolaan sampah sungai. Interaksi masyarakat untuk membangun pengelolaan sampah yang masih terkendala dengan kepentingan pribadi warga, sangsi yang belum dapat diberlakukan untuk masyarakat yang tidak mengelola sampahnya dan tidak adanya individu atau kelompok masyarakat yang mampu menggerakkan warga untuk menciptakan kebersihan kampung.

 














Sumber: Analisis Penulis
Gambar
Aspek sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat

C.      Budaya Masyarakat di Lingkungan Gesik Kabupaten Cirebon
Ternyata budaya yang terjadi di kawasan gesik tersebut merupakan hal yang kurang baik, karena pola pikir masyarakat masih dengan membuang sampah tidak pada tempatnya bisa dikatakan di sembarang tempat. Sebenarnya, kalau saja aspek budaya dalam pembentukan perilaku individu maupun pola pikir masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah kondisi budaya masyarakat atau kebiasaan masyarakat yang berpengaruh dalam membentuk perilaku masyarakat pengelolaan sampah di sungai, ini akan berdampak positif. Namun, ketika ada warga yang telah melakukan pengumpulan sampah, belum dapat memberikan pandangan kepada warga untuk mengikuti langkah positif tersebut.
Selain itu, tindakan pembuangan sampah secara langsung tanpa dilakukannya pewadahan terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh sikap individu atau pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa sampah yang di buang di pinggiran sungai nantinya juga akan hanyut oleh arus pasang surut air sungai.
Dari hasil analisis aspek budaya sebagai pembentuk perilaku pengelolaan sampah dapat disimpulkan bahwa kebiasan dan pandangan masyarakat terhadap sampah adalah sebagai bahan atau material buangan yang sulit untuk dimanfaatkan kembali. Hal ini salah satunya disebabkan oleh faktor kreativitas untuk memanfaatkan sampah yang masih layak digunakan, termasuk dukungan informasi terhadap pemanfaatan sampah. Disisi lain, dengan dibuangnya sampah ke bawah atau ke kolong rumah, masyarakat beranggapan bahwa sampah tersebut akan dibersihkan oleh arus pasang surut.
Dari perbincangan saya dengan salah satu warga yang peduli terhadap lingkungan beliau mengatakan, “Sungai ini dulunya bersih, batu dan pasir berlimpah di sungai, akan tetapi dengan seiringnya berjalan waktu. Sungai ini mulai tercemar, entah itu dari limbah rumah tangga ataupun industri. Sebenarnya kalau di telusuri sungai ini masih bersih,  bisa di lihat dari sungai perbutulan sumber,air masih lumayan jernih dan masih banyak bebatuan. Akan tetapi, semakin ke Utara tepatnya di desa nambo sudah ada pabrik dan pabrik tersebut tidak lain limbahnya mengarahkan ke sungai.berawal dari situlah sungai tercemar, kalau kita susuri semakin ke Utara. Maka, akan di temukannya banyak pabrik-pabrik rumahan yang limbahnya di buang ke arah sungai. Seperti pabrik, tahu, pabrik krupuk dan lain-lain. Belum lagi kesadaran masyarakat yang sebagian membuang sampah rumah tangganya ke sungai, bahkan kasurpun di buang ke sungai. Ditambah kurangnya perhatian pemerintah yang tidak memberikan layanan untuk pengolahan sampah, seperti TPU. Oleh karena itu semua, sungai menjadi kotor dan tercemar”.
Upaya pembinaan yang bersifat perwakilan dari warga kampung dan rendahnya monitoring perkembangan pembinaan merupakan salah satu penyebab stagnannya pembinaan yang selama ini telah dilaksanakan.


 
















Sumber: Analisis Penulis
Gambar
Budaya Masyarakat di Lingkungan Gesik Kabupaten Cirebon

D.      Teknologi dapat Mengurangi Pencemaran Lingkungan
Sebenarnya, teknologi dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar. Walaupun demikian, langkah pencegahan tentunya lebih efektif dan bijaksana.
Dampak sampah bagi manusia dan lingkungan sangat besar. Sudah kita sadari bahwa pencemaran lingkungan akibat perindustrian maupun rumah tangga sangat merugikan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui kegiatan perindustrian dan teknologi diharapkan kualitas kehidupan dapat lebih ditingkatkan. Namun seringkali peningkatan teknologi juga menyebabkan dampah negatif yang tidak sedikit.
Keterangan dalam pengelolaan sampah terdapat pada No. 18 Tahun 2008 Pasal 6 yaitu, Tugas Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas:
1.         Menumbuh kembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah.
2.         melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan penanganan sampah.
3.         Memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah.
4.         melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah.
5.         mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah.
6.         memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; dan
7.         melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah.
Ketentuan utama tentang pencegahan pencemaran lingkungan dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup menentukan bahwa, Ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh dan/atau secara sektoral ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam penjelasan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ini memuat upaya penegakan hukumnya.
Berkaitan dengan penegakan hukum terhadap para pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan, I Gusti Ngurah Wairocana menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:
1.      Mengenai Aturan Hukumnya, Pemerintah selaku pembuat peraturan atau kebijakan dan pemerintah jualah yang harus mensosialisasikan terhadap masyarakat apa yang menjadi ketentuan yang terkait dalam peraturan tersebut.
2.      Pejabat Penegak Hukum, Pejabat penegak hukum harus berindak sebagai penegak, dalam arti, pemerintah harus menindak tegas para pelaku pencemaran lingkungan dengan tidak pandang bulu.
3.      Sasaran Prasarana, Penyedian saranan dan prasarana merupakan salah satu bentuk solusi untuk menanggulangi penumpukan sampah, namun kesemua itu bukan berarti kesalahan dari pemerintah saja. Akan tetapi, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu faktor kendala dalam penanganan masalah pencemaran lingkungan hidup kita.
Bila hal ini diterapkan pemerintah sejak dini, maka masalah pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia saat ini akan sedikit teratasi. Namun seperti yang kita ketahui bahwa, pemerintah sepertinya setengah hati untuk mengatasi dan menindak para pencemaran lingkungan khususnya pencemaran sungai yang berdampa pada banjir dimana-mana dalam kota-kota besar.
Dalam upaya penanganan masalah pencemaran lingkungan, maka masyarakat juga harus berpartisipasi di dalam pelestarian dan pemeliharaan lingkungan hidup. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam penanggulangan masalah pencemaran lingkungan hidup adalah:
1.      Masyarakat seharusnya tidak membuang sesuatu ke dalam sungai atau benda lainnya di dekat aliran sungai seperti plastik, bekas bungkusan makanan, bekas peralatan rumah tangga, bekas pakaian dll.
2.      Masyarakat setempat semestinya bergotong-royong untuk malakukan pengerukan saluran air/sungai secara berkala. Tujuannya, agar selokan air atau saluran sungai tetap lancar dan tidak terjadi pendangkalan akibat lumpur yang mengendap, akibat sampah-sampah yang sudah membusuk.
3.      Memahami dan mematuhi aturan, terkait dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tentang pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup.

Dengan demikian, partisipasi masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting guna mencapai hasil yang maksimal dalam penanggulangan masalah pencemaran lingkungan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, masyarakat masih saja membuang sampah sembarangan. Warga seharusnya sadar dan tergerak untuk menangani masalah ini. Mereka seharusnya dapat menjaga selokan atau saluran sungai tersebut dan bukan malah menjadikannya sebagai tempat sampah praktis.
Sistem pengelolaan sampah yang baik akan mengurangi kerusakan lingkungan. Karena sampah dapat merugikan kesehatan, keamanan, pencemaran dan merupakan sesuatu yang tidak dipergunakan lagi dan harus dibuang, maka sampah dikelola dengan sebaik-baiknya sedemikian rupa sehingga hal-hal negatif bagi kehidupan tidak sampai terjadi. Agar sampah dapat dikelola dengan baik maka sebelumnya harus diketahui atau diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk menanggulanginya maka ditentukan cara pengolahan yang baik agar jangan sampai terjadi dampak terhadap kesehatan manusia dan pencemaran terhadap lingkungan. Syarat utama untuk menghindari dampak dari sampah dan sekaligus menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih sampah dapat terangkut seluruhnya dari TPS (Tempat Pembuangan Sementara) ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) setiap harinya.
Pengelolaan sampah yang baik bukan untuk kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk keindahan lingkungan. Yang dimaksud dengan pengelolaan sampah disini adalah meliputi pengumpulan, pengangkutan, sampai dengan pemusnahan atau pengelolaan sampah sedemikian rupa sehingga sampah tidak menjadi ganguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup. Cara-cara pengelolaan sampah antara lain:
1.      Pengumpulan dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah adalah menjadi tanggungjawab dari masing-masing rumah tangga atau instansi yang menghasilkan sampah. Oleh sebab itu, mereka harus membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-msing tempat pengumpulan sampah tersebut harus diangkut ke tempat pembuangan sementara dan selanjutnya ketampat pembuangan sampah akhir. Mekanisme pengangkutan untuk daerah perkotaan adalah tanggungjawab pemerintah daerah setempat uang didukung oleh partisipasi masyarakat.
2.      Pemusnahan dan pengelolaan sampah
Pemusnahan dan pengelolaan sampah ini dapat dilakukan dengan melalui berbagai cara yaitu:
a.       Ditanam, yaitu pemusnahan sampah dengan membuat lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan tanah.
b.      Dibakar, yaitu memusnahkan sampah dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran.
c.       Dijadikan pupuk yaitu pengolahan sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Apabila setiap rumah tangga dibiasakan untuk memisahkan sampah organic dengan non organik kemudian sampah organik dioleh menjadi pupuk tanaman dapat dijual atau dipakai sendiri. Sedangkan sampah anorganik dibuang dan akan segera dipungut oleh para pemulung. Dengan demikian maka masalah sampah akan berkurang (Wijadmoko, 2003).
Dalam upaya pelestarian daerah aliran sungai ini, dapat saya tinjau dari beberapa tahap yang akan mengembalikan lingkungan hidup menjadi lebih baik, nyaman, dan indah unutk di pandan. Maka, dengan cara:
1.      Melestarikan hutan di hulu sungai
Agar tidak menimbulkan erosi tanah disekitar hulu sungai sebaiknya pepohonan tidak digunduli atau ditebang atau merubahnya menjadi areal pemukiman penduduk. Dengan adanya erosi otomatis akan membawa tanah, pasir, dan sebagainya ke aliran sungai dari hulu ke hilir sehingga menyebabkan pwendangkalan sunmgai.
2.      Tidak buang air di sungai
Buang air kecil dan air besar sembarangan adalahperbuatan yang salah. Kesan pertama dari tinja atau urin yang dibuan sembarangan adalah bau dan menjijikan. Tinja juga merupakan medium yang paliang baik untuk perekembangan bibit penyakit dari yang ringan sampai yang berat, oleh karena itu janganlah buang air besar sembarangan khususnya di sungai.
3.      Tidak membuang sampah di sungai
Sampah yabng dibuang sembarangan di sungaiakan menyababkan aliran air di sungai terhambat. Selain itu juga sampah akan menyebabkan sungai cepaa dangkal dan akhirnya memicu terjadinya banjir di musim penghujan sampah juga membuat sungai tampak kotor menjijnikan dan terkontaminasi
4.      Tidak membuang limbah rumah tangga dan industri
Tempat yang paling mudah untuk membuang limbah industri atau limbah rumah tangga berupa cairan adalah dengan mambuangnya kesungai namun apakah limbah itu aman? Limbah yang dibuang secara asal-asalan tentu saja dapat menimbulkan pencemaran mulai dari bau yang tidak sedap, oencemaran air gangguan penyakit kulit serta masih banyak lagi.
Maka oleh karena itu Dalam keseharian kita, kita dapat mengurangi pencemaran air, dengan cara mengurangi jumlah sampah yang kita produksi setiap hari (minimize), mendaur ulang (recycle), mendaur pakai (reuse).
Kita pun perlu memperhatikan bahan kimia yang kita buang dari rumah kita. Karena saat ini kita telah menjadi “masyarakat kimia”, yang menggunakan ratusan jenis zat kimia dalam keseharian kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, memupuk tanaman, dan sebagainya.




BAB IV
PENUTUP



A.      Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap perilaku masyarakat dalam pengaruh lingkungan hidup, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:
1.      Pembahasan dan teori tersebut diatas didasarkan atas fakta yang terjadi di lingkungan masyarakat Gesik tentang anggapan bahwa pasang surut air sungai yang secara kontinu terjadi akan membersihkan sampah-sampah yang hanyut. Selain itu faktor sungai yang cukup lebar, debit air yang cenderung stabil dan arus yang relatif deras, menjadikan sampah yang dihanyutkan warga cenderung tampak dalam mengotori sungai.
2.      Bentuk konstruksi rumah panggung di bantaran sungai yang berfungsi untuk mengadaptasi kondisi pasang surut air sungai, berpotensi menjadi tempat timbulan sampah yang relatif sulit untuk dilakukan proses pembersihannya. Pernyataan ini didasarkan atas fakta banyaknya sebaran timbulan sampah di wilayah tersebut. upaya pembersihan menjadikan timbulan sampah tidak dapat dimusnahkan dan hanya tergantung kepada dorongan arus pasang surut yang tidak dapat dikendalikan kualitas pembersihannya. Dengan adanya sampah yang relatif tidak pernah dibersihkan juga memberikan pengaruh kepada motivasi individu atau sosial masyarakat untuk melakukan atau berperilaku membuang sampah secara spontan tanpa diwadahi, dengan alasan bahwa sungai juga sudah banyak sampah.
3.      Pola pembinaan pengelolaan sampah dalam bantaran sungai dengan budaya masyarakat sebagai objek pelaku pengelolaan secara mandiri, memerlukan penerapan atau pelaksanaan pembinaan yang simultan guna membentuk atau mengkondisikan masyarakat untuk melaksanakan pengelolaan sampah.
4.      Teknologi adalah salah satu perkembangan zaman yang modern, hal tersebut dapat kita gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang tercemar.

B.       Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan kepada pihak yang berkompeten dalam masalah persampahan di daerah Gesik dalam merencanakan kebijakan bidang persampahan terutama kebijakan persampahan di wilayah bantaran sungai, untuk memperhatikan aspek perilaku masyarakat sebagai objek penghasil sampah dan pola pengelolaan yang dilakukannya. Adapun rencana implementasi kebijakan persampahan yang dapat ditempuh antara lain sebagai berikut:
1.      Penyediaan sarana tempat-tempat sampah yang cenderung dekat dengan bantaran sungai atau terjangkau oleh warga, sehingga warga dapat termotivasi untuk mengalihkan pola membuang sampah sembarangan
2.      Jika penyediaan sarana tempat sampah telah dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah memberlakukan pelarangan pembuangan atau pemusnahan sampah di sungai kepada warga.
3.      Pengadaan sarana pengangkutan sampah yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat, baik pola operasional dan pembiayaannya. Dengan diadakannya sarana pengangkutan tersebut diharapkan masyarakat akan terkondisikan untuk selalu mewadahi sampahnya sebelum diangkut oleh moda pengangkutan sampah.
4.      Pembentukan kelompok kerja yang difungsikan untuk membersihkan timbulan sampah yang hanyut dan tertambat di sekitar tepian sungai, sehingga diharapakan dapat menjadi stimulus kepada warga untuk menjaga kebersihan wilayah tepian sungai dari timbulan sampah.


Tidak ada komentar: