PENGARUH PENGETAHUAN LINGKUNGAN
HIDUP TERHADAP PEMBENTUKAN POLA PIKIR MASYARAKAT
MAKALAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Mengikuti Ujian Akhir Semester
Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya
dan Teknologi
Oleh:
Fadli Adin Budiarjo
NIM: 110641068
PRODI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
2013
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Munculnya sungai
yang kumuh merupakan sebuah permasalahan yang sering dihadapi sejumlah kota
besar di Indonesia. Minimnya penyediaan sarana dan prasarana, umumnya
dilatarbelakangi oleh permasalahan legalitas sungai tersebut, sehingga berdampak
kepada keburukan kualitas lingkungan. Sebagai contoh, dengan tidak tersedianya
sarana persampahan maka masyarakat akan cenderung mencemari sungai dengan
sampah sehingga timbulan sampah akan mengalami dampak yang kurang baik.
Menurut
Wibowo dan Darwin (2006:1) persampahan telah menjadi agenda permasalahan utama
yang dihadapi oleh hampir seluruh perkotaan di Indonesia. Faktor keberhasilan
pelaksanaan pengelolaan sampah sepenuhnya
akan tergantung pada kemauan Pemerintah Daerah atau Kota dan masyarakat.
Kemauan ini dapat di mulai dari pemahaman pola pikir dan kesadaran akan
pentingnya sektor pengelolaan
sampah sebagai salah satu pencerminan
keberhasilan dalam hal lingkungan yang sehat.
Seperti tipikal rumah yang berada di wilayah bantaran
sungai, permukiman di kampung ini juga memiliki masalah dengan ketersediaan
prasarana air bersih, ketersediaan sistem sanitasi yang layak dan sarana
persampahan. Sampah domestik yang di produksi oleh masyarakat di buang secara
sembarangan di sekitar lingkungan sungai dan terlihat menumpuk. Hal tersebut
akan menimbulkan sulitnya pembersihan sampah yang menumpuk di bantaran sungai
yang berlumpur. Pasang surut air sungai juga memberikan dampak yang cukup
signifikan terhadap timbulnya sampah di kawasan ini, air sungai yang membawa
sampah dari tempat lain sering tersangkut, pada saat surut sampah bawaan
tersebut menumpuk bercampur dengan genangan air sehingga menimbulkan bau yang
tidak sedap.
Sisi lain,
motivasi masyarakat dalam mengelola sampah sampai saat ini belum nampak
kemunculannya. Pola hidup masyarakat yang masih mengedepankan pemenuhan
kebutuhan hidup atau ekonomi menjadikan masalah pengelolaan sampah sebagai
permasalahan yang belum menjadi prioritas untuk ditangani. Perilaku dan
kebiasaan masyarakat atau individu untuk mengelola sampah belum mengarah kepada
perilaku yang positif seperti membuang sampah pada tempatnya atau mengumpulkan
sampah-sampah domestik dari rumah tangga ke tempat pengumpulan sampah komunal.
Pola pengelolaan
sampah dengan melibatkan masyarakat sebagai aktor yang dapat berperan aktif
dalam mengurangi volume sampah merupakan keputusan yang tepat dalam
mengantisipasi peningkatan jumlah volume sampah perkotaan yang terus meningkat
akibat peningkatan jumlah penduduk. Peran aktif masyarakat atau individu dapat
dimulai dengan melaksanakan perilaku positif
dalam
mengelola sampah seperti pengumpulan, pewadahan, pemilahan dan melakukan daur
ulang sampah untuk mengurangi volume dan persebaran sampah.
B.
Identifikasi
Masalah
Dalam
latar belakang tersebut, penulis
menyusun identifikasi masalah kedalam beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
pola pikir masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana
mengurangi perilaku-perilaku masyarakat yang kurang baik seperti halnya membuang
sampah tidak pada tempatnya dan mengotori sungai ?
2.
Sejauh
mana pengaruh lingkungan terhadap pembentukan pola pikir masyarakat ?
3.
Apakah
pola pikir masyarakat sudah tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang
bernuansa lingkungan kumuh?
4.
Bagaimana
upaya masyarakat dalam pengaruh lingkungan hidup?
5.
Bagaimana
masyarakat memantau yang berada di lingkungan sungai?
C.
Rumusan
Masalah
Dari
identifikasi masalah diatas, maka dalam penyusunan makalah ini penulis
merumuskan masalah, yaitu:
1.
Bagaimana
tingkat pengetahuan masyarakat terhadap lingkungan?
2.
Apakah peranan
sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat?
3.
Bagaimana
budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon?
4.
Apakah
teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan?
D.
Tujuan
Dari
Rumusan masalah ini, maka penulis dapat menjabarkan tujuannya sebagai berikut:
1.
Menggambarkan tingkat pengetahuan masyarakat
terhadap lingkungan.
2.
Menggambarkan
peranan sosial mempengaruhi lingkungan masyarakat.
3.
Menggambarkan
budaya masyarakat di lingkungan gesik kabupaten cirebon.
4.
Menggambarkan
seberapa besar pengaruh teknologi dapat mengurangi pencemaran lingkungan.
BAB II
LANDASAN AGAMA, LANDASAN HUKUM, DAN
TINJAUAN TEORI
A.
Landasan
Agama
Dalam kehidupan manusia tidak dapat mengabaikan peranan Allah SWT melalui alam semesta
(lingkungan). Manusia tidak dapat mengingkari kebutuhan akan sumberdaya alam
yang disediakan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Demikian
pula manusia tidak dapat mengabaikan dan menutup mata pada kerusakan yang
terjadi akibat aktivitas yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhannya.
Allah telah menjelaskan dalam Qur’an Surat Ar-Rumm ayat 41 yang berbunyi:
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt ÇÍÊÈ
Artinya:
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ini membuktikan
bahwasannya ketika Allah menurunkan peringatan kepada manusia, sudah
sepantasnya manusia harus sadar akan pemeliharaan lingkungan, padahal sejak
zaman nenek moyang terdahulu, manusia mampu mempertahankan kehidupannya dibumi
karena berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bencana akan menimbulkan
perhatian yang makin besar ketika manusia tidak bertindak lebih baik.
B.
Landasan Hukum
Ditinjau
dari berbagai aspek, indonesia adalah negara hukum. Dalam Undang-Undang No. 32
Tahun 2009, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang lingkup dengan semua benda,
daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Merujuk
pada definisi diatas, maka lingkungan hidup indonesia tidak lain merupakan
wawasan nusantara. Secara hukum maka wawasan nusantara dalam menyelenggarakan
penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia adalah Wawasan
Nusantara.
C.
Tinjauan
Teori
1.
Teori
Antroposentrisme
Antroposentrisme
adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem
alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langung.
Nilai
tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai
dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh
karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan
manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
2.
Teori
Ekosentrisme
Ekosentrisme
Berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme
yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya,
ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang
hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda
abiotis lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan
tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan
tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
3.
Teori
Egosentris
Etika yang
mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris
didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan
tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa
yang baik bagi individu adalah baik untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya
mendasarkan diri pada narsisisme, tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang
menitikberatkan pada individu atau kelompok privat yang berdiri sendiri secara
terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4). Inti dari pandangan
egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan: Bahwa tindakan dari setiap
orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan
diri sendiri.
Dengan
demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai
pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini
didasarkan pada berbagai pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan
dengan teori sosial liberal.
4.
Teori
Biosentrisme
Teori
Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga
komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia.
Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup
(biotic community).
Inti
pemikiran biosentrisme adalah bahwa
setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan keberadaannya memiliki relevansi
moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas mendapatkan keprihatinan
dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti pokok dari konsern
moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta memlihara
kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan
kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).
Biosentrisme
memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory (hidup sebagai
pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land ethic
(etika bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold, dan equal treatment
(perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
5.
Etika
Homosentris
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan
sebagian masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan
sosial dan pendekatan antara pelaku lingkungan yang melindungi sebagian besar
masyarakat manusia.
Etika
homosentris sama dengan etika utilitarianisme, jadi, jika
etika egosentris mendasarkan penilaian baik dan buruk suatu tindakan itu pada
tujuan dan akibat tindakan itu bagi individu, maka etika utilitarianisme ini
menilai baik buruknya suatu tindakan itu berdasarkan pada tujuan dan akibat
dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika homosentris atau
utilitarianisme ini sama dengan universalisme etis. Disebut universalisme
karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis
karena ia menekankan akibat yang baik. Disebut utilitarianisme karena ia
menilai baik atau buruk suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau manfaat dari
tindakan tersebut (Sonny Keraf, 1990:34).
Seperti
halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi pengetahuan
mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian organis
mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara organis
dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh pada
bagian lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang utilitaris,
etika utilitarianisme ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber alam dengan
dalih demi kepentingan dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto, 1990:16).
6.
Etika
Ekosentris
Etika
ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan
dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran etis ekologi
tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai
alternatif untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut
ekosentrisme, hal yang paling penting
adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen
ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki
tanggung jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243).
Menurut
etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah, air,
tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah perah
“homo sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga
dirinya. terdapat rasa hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap
komunitas alam itu sendiri (J. Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris
bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau metafisik. Terdapat lima asumsi
dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini, J. Sudriyanto
(1992:20) menjelaskan:
a.
Segala sesuati itu saling
berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya perubahan yang terjadi
adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan keseluruhan. Tidak
ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah dinamika
perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan terjadi
kehancuran ekosistem.
b.
Keseluruhan lebih daripada
penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat disamakan dengan konsep individu
yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama dengan penjumlahan dari banyak
bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis, merupakan kombinasi bagian
yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih besar daripada
penjumlahan efek-efek individual.
c.
Makna tergantung pada konteksnya,
sebagai lawan dari “independensi konteks” dari “mekanisme”. Setiap bagian
mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
d.
Merupakan proses untuk mengetahui
berbagai bagian.
e.
Alam manusia dan alam non manusia
adalah satu. Dalam holistik tidak
terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem
kosmologi organik yang sama.
Uraian di
atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf Norwegia bahwa
kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.
Kepedulian lingkungan yang “dangkal”
(shallow ecology)
Kepedulian
ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan bahwa
hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk
individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto,
1992:22).
7.
Teosentrisme
Teosentrisme
merupakan teori etika lingkungan yang lebih memperhatikan lingkungan secara
keseluruhan, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Pada teosentrism,
konsep etika dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur hubungan manusia
dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah ditekankan
dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita Karana (THK), dimana
dibahas hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan
manusia (Pawongan) dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).
8.
Teori
Nikomakea
Teori
Nikomakea (bahasa Inggris: 'Nicomachean Ethics'), atau Ta Ethika, adalah
karya Aristoteles tentang kebajikan dan karakter moral yang memainkan peranan penting
dalam mendefinisikan etika Aristoteles. Kesepuluh buku yang menjadi etika
ini didasarkan pada catatan-catatan dari kuliah-kuliahnya di Lyceum dan disunting atau dipersembahkan
kepada anak lelaki Aristoteles, Nikomakus.
Teori
Nikomakea memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan
berperilaku bajik dan mengembangkan watak yang bajik pula. Aristoteles
menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis, dan kemampuan dari orang
yang bajik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil. Aristoteles
berpendapat bahwa eudaimonia adalah tujuan hidup, dan bahwa
ucaha mencapai eudaimonia, bila dipahami dengan tepat, akan menghasilkan
perilaku yang bajik.
9.
Zoosentrisme
Zoosentrisme
adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini
juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles
Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan
karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga
bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan
salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty
to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral
memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.
10.
Antroposentris
Antroposentris
yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang
mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan
dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove
dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka
kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika
antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan
pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus
manusia.
Etika
yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia.
Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
a.
Manusia terpisah dari alam.
b.
Mengutamakan hak-hak manusia atas
alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
c.
Mengutamakan perasaan manusia
sebagai pusat keprihatinannya.
d.
Kebijakan dan manajemen sunber daya
alam untuk kepentingan manusia.
e.
Norma utama adalah untung rugi.
f.
Mengutamakan rencana jangka pendek.
g.
Pemecahan krisis ekologis melalui
pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin.
h. Menerima
secara positif pertumbuhan ekonomi.
Banyak ahli yang mengemukakan teori
kesadaran lingkungan. Hasil penelitian teoritik
tentang kesadaran lingkungan hidup dari Neolaka (1991), menyatakan bahwa
kesadaran lingkungan adalah keadaan tergugahnya jiwa terhadap sesuatu, dalam
hal ini lingkungan hidup, dan dapat terlihat pada prilaku dan tindakan
masing-masing individu. Hussel yang dikutip Brawer (1986), menyatakan bahwa
kesadaran adalah pikiran sadar (pengetahuan) yang mengatur akal, hidup wujud
yang sadar, bagian dari sikap atau prilaku, yang dilukiskan sebagai gejala
dalam alam dan harus dijelaskan berdasarkan prinsip sebab musebab. Tindakan
sebab, pikiran inilah menggugah jiwa untuk membuat pilihan, misalnya memilih
baik-buruk, indah-jelek.
Buletin Para Navigator (1988),
menyatakan bahwa kesadaran adalah modal utama bagi setiap orang yang ingin
maju. Secara garis besar sadar itu dapat diukur dari beberapa aspek antara lain
: kemampuan membuka mata dan menafsirkan apa yang dilihat, kemampuan aktivitas,
dan kemampuan berbicara. Jika seseorang mampu melakukan ketiga aspek diatas
secara terintegrasi maka dialah yang disebut dengan sadar. Dari segi lain
kesadaran adalah adanya hak dan kemapuan kita untuk menolak melakukan keinginan
orang lain atau sesuatu yang diketahui buruk/tidak bermanfaat bagi dirinya.
Kesadaran lingkungan menurut M.T Zen
(1985) adalah usaha melibatkan setiap warga Negara dalam menumbuhkan dan
membina kesadaran untuk melestarikan lingkungan berdasarkan tata nilai, yaitu
tata nilai dari pada lingkungan itu sendiri dengan filsafat hidup secara damai
dengan alam lingkungannya (Neolaka; 2008) Menurut Emil Salim (1982), kesadaran
lingkungan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran agar tidak hanya tahu
tentang sampah, pencemaran, penghijauan, dan perlindungan satwa langka, tetapi lebih dari pada
itu semua, membangkitkan kesadaran lingkungan manusia Indonesia khususnya
pemuda masa kini agar mencintaim tanah iar.
Daniel Chiras (Neolaka;2008)
menyatakan bahwa dasar penyebab kesadaran lingkungan adalah etika lingkungan.
Etika lingkungan yang sampai saat ini berlaku adalah etika lingkungan yang
didasarkan pada sistem nilai yang mendudukkan manusia bukan bagian dari alam,
tetapi manusia sebagai penakluk dan pengatur alam. Didalam pendidikan
lingkungan hidup, konsep mental
tentang manusia sebagai penakluk alam perlu diubah menjadi manusia sebagai
bagian dari alam.
Dari teori-teori kesadaran
lingkungan diatas maka dapat diberikan pengertian sebagai berikut, Kesadaran
adalah pengetahuan. Sadar sama dengan tahu. Pengetahuan tentang hal yang nyata,
konkret, dimaksudkan adalah pengetahuan yang
mendalam (menggugah jiwa), tahu sungguh-sungguh, dan tidak salah. Tidak asal
mengetahui atau tahu, sebab banyak orang tahu pentingnya lingkungan hidup
tetapi belum tentu sadar karena tindakan atau perilaku merusak lingkungan atau tidak
mendukung terciptanya kelestarian lingkungan hidup.
Kesadaran adalah bagian dari sikap
atau perilaku. Pengertian kesadaran yang
ada sebagian dari sikap menjadi benar jika setiap perilaku yang ditunjukkan
terus bertambah dan menjadi sifat hidupnya. Contoh yang dikaitkan dengan
lingkungan yaitu terdapatnya larangan untuk tidak membuang sampah kesungai atau
saluran, maka sebagai manusia yang sadar lingkungan harus mentaati larangan
tersebut dengan tidak membuang sampah ke sungai. Dikatakan demikian karena
menurut teori kesadaran adalah pengetahuan dan merupakan bagian dari sikap atau
tindakan (Maftuchah Yusuf, dalam Neolaka; 2008)
BAB
III
PEMBAHASAN
PENGARUH LINGKUNGAN HIDUP DITINJAU DARI LINGKUNGAN, SOSIAL, BUDAYA, DAN
TEKNOLOGI
A.
Tingkat
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Lingkungan
Tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat akan kebersihan
lingkungan sepertinya masih sangat kurang. Kedisiplinan dalam membuang sampah
harusnya selalu diterapkan. Jika kita sedang berada diluar dan memang tidak ada
tong sampah, sebaiknya kita bawa terlebih dahulu sampah tersebut sampai kita menemukan
tempat sampah. Namun, realitanya banyak jalan pintas yang beranggapan sebuah
kepantasan bagi masyarakat yang membuang sampah sembarangan, baik di jalan
maupun di saluran air sungai seperti yang dilakukan oleh sebagian warga yang
tinggal di kawasan Sungai Gesik.
Salah satu bentuk sumber pencemaran sungai-sungai terbesar di
Indonesia juga merupakan limbah dari rumah tangga seperti plastik, bekas
bungkusan makanan, bekas peralatan rumah tangga, bekas pakaian dan masih banyak
yang belum bisa saya sebutkan. Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di
kawasan Sungai Gesik. Dimana sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan
Sungai itu belum memiliki kesadaran akan pentingnya manfaat sungai untuk
dilestarikan. Masyarakat disekitar kawasan Sungai mungkin belum menyadari bahwa
aliran sungai berfungsi sebagai untuk manampung air limbah yang dikeluarkan
dari rumah-rumah penduduk khususnya yang tinggal di kawasan pinggran sungai.
Akibat rendahnya tingkat kesadaran dari
masyarakat itu sendiri, berdampak pada aroma yang tidak sedap akibat
sampah-sampah yang dibuang warga kedalam sungai mulai membusuk. Selain aroma
yang tidak sedap, kedalaman sungai juga semakin hari semakin rendah. Hal ini
disebabkan karena masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat untuk
melestarikan lingkungan hidup,
khusunya aliran sungai.
Padahal dalam Undang-Undang
menyatakan, Perusakan lingkungan hidup adalah
tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Ketika masyarakat mampu memahami akan
baiknya lingkungan maka tikalah terjadi permasalahan yang seperti ini.
B.
Peranan
Sosial Mempengaruhi Lingkungan Masyarakat
Aspek sosial
dalam pembentukan perilaku individu maupun pola pikir masyarakat dalam
pengelolaan sampah adalah kondisi sosial kemasyarakatan yang mampu mempengaruhi
baik positif
maupun negatif terhadap individu maupun masyarakat dalam mengelola sampah sungai.
Warga Gesik yang
sebagaian besar bekerja sebagai buruh swasta atau pegawai pabrik, pedagang kaki
lima, secara tidak langsung mempengaruhi pola pengelolaan sampah di wilayah
ini. Tingginya aktivitas rutin pekerjaan, bahkan tidak sedikit warga yang
memiliki pekerjaan lebih dari satu bidang pekerjaan menyebabkan adanya
kecenderungan kurangnya waktu untuk aktivitas interaksi sosial kemasyarakatan
yang dapat berfungsi sebagai forum non formal terhadap pengembangan atau
perbaikan kampung khususnya masalah persampahan sungai. Fenomena pembuangan
sampah di sungai yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar dapat terjadi akibat
mekanisme kontrol sosial yang tidak berjalan. Dengan tidak adanya sangsi,
masyarakat menjadi leluasa dalam melakukan perilaku negatif tersebut.
Dari deskripsi
tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek sosial memiliki
kecenderungan yang rendah dalam mendukung pengelolaan sampah sungai. Interaksi
masyarakat untuk membangun pengelolaan sampah yang masih terkendala dengan
kepentingan pribadi warga, sangsi yang belum dapat diberlakukan untuk
masyarakat yang tidak mengelola sampahnya dan tidak adanya individu atau
kelompok masyarakat yang mampu menggerakkan warga untuk menciptakan kebersihan
kampung.
Sumber: Analisis Penulis
Gambar
Aspek
sosial
mempengaruhi lingkungan masyarakat
C.
Budaya
Masyarakat di Lingkungan Gesik Kabupaten Cirebon
Ternyata
budaya yang terjadi di kawasan gesik tersebut merupakan hal yang kurang baik,
karena pola pikir masyarakat masih
dengan membuang sampah tidak pada tempatnya bisa dikatakan di sembarang tempat.
Sebenarnya, kalau saja aspek budaya dalam pembentukan perilaku individu maupun
pola pikir masyarakat dalam pengelolaan sampah adalah kondisi budaya masyarakat
atau kebiasaan masyarakat yang berpengaruh dalam membentuk perilaku masyarakat
pengelolaan sampah di sungai, ini akan berdampak positif. Namun, ketika ada
warga yang telah melakukan pengumpulan sampah, belum dapat memberikan pandangan
kepada warga untuk mengikuti langkah positif tersebut.
Selain itu,
tindakan pembuangan sampah secara langsung tanpa dilakukannya pewadahan
terlebih dahulu dilatarbelakangi oleh sikap individu atau pola pikir masyarakat
yang menganggap bahwa sampah yang di buang di pinggiran sungai nantinya juga
akan hanyut oleh arus pasang surut air sungai.
Dari hasil
analisis aspek budaya sebagai pembentuk perilaku pengelolaan sampah dapat disimpulkan
bahwa kebiasan dan pandangan masyarakat terhadap sampah adalah sebagai bahan
atau material buangan yang sulit untuk dimanfaatkan kembali. Hal ini salah
satunya disebabkan oleh faktor kreativitas untuk memanfaatkan sampah yang masih
layak digunakan, termasuk dukungan informasi terhadap pemanfaatan sampah.
Disisi lain, dengan dibuangnya sampah ke bawah atau ke kolong rumah, masyarakat
beranggapan bahwa sampah tersebut akan dibersihkan oleh arus pasang surut.
Dari
perbincangan saya dengan salah satu warga yang peduli terhadap lingkungan
beliau mengatakan, “Sungai ini dulunya bersih, batu dan pasir berlimpah di
sungai, akan tetapi dengan seiringnya berjalan waktu. Sungai ini mulai
tercemar, entah itu dari limbah rumah tangga ataupun industri. Sebenarnya kalau
di telusuri sungai ini masih bersih,
bisa di lihat dari sungai perbutulan sumber,air masih lumayan jernih dan
masih banyak bebatuan. Akan tetapi, semakin ke Utara tepatnya di desa nambo
sudah ada pabrik dan pabrik tersebut tidak lain limbahnya mengarahkan ke
sungai.berawal dari situlah sungai tercemar, kalau kita susuri semakin ke
Utara. Maka, akan di temukannya banyak pabrik-pabrik rumahan yang limbahnya di
buang ke arah sungai. Seperti pabrik, tahu, pabrik krupuk dan lain-lain. Belum
lagi kesadaran masyarakat yang sebagian membuang sampah rumah tangganya ke
sungai, bahkan kasurpun di buang ke sungai. Ditambah kurangnya perhatian
pemerintah yang tidak memberikan layanan untuk pengolahan sampah, seperti TPU.
Oleh karena itu semua, sungai menjadi kotor dan tercemar”.
Upaya pembinaan
yang bersifat perwakilan dari warga kampung dan rendahnya monitoring
perkembangan pembinaan merupakan salah satu penyebab stagnannya pembinaan yang
selama ini telah dilaksanakan.
Sumber: Analisis Penulis
Gambar
Budaya Masyarakat di Lingkungan Gesik Kabupaten
Cirebon
D.
Teknologi
dapat Mengurangi Pencemaran Lingkungan
Sebenarnya, teknologi dapat kita
gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan
dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang
tercemar. Walaupun demikian, langkah pencegahan tentunya lebih efektif dan
bijaksana.
Dampak sampah bagi manusia dan
lingkungan sangat besar. Sudah kita sadari bahwa pencemaran lingkungan akibat
perindustrian maupun rumah tangga sangat merugikan manusia, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Melalui kegiatan perindustrian dan teknologi
diharapkan kualitas kehidupan dapat lebih ditingkatkan. Namun seringkali
peningkatan teknologi juga menyebabkan dampah negatif yang tidak sedikit.
Keterangan dalam pengelolaan sampah
terdapat pada No. 18 Tahun 2008 Pasal 6 yaitu, Tugas Pemerintah dan
pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas:
1.
Menumbuh kembangkan dan meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah.
2.
melakukan penelitian, pengembangan
teknologi pengurangan, dan penanganan sampah.
3.
Memfasilitasi, mengembangkan, dan
melaksanakan upaya pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah.
4.
melaksanakan pengelolaan sampah dan
memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah.
5.
mendorong dan memfasilitasi
pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah.
6.
memfasilitasi penerapan teknologi
spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat setempat untuk mengurangi dan
menangani sampah; dan
7.
melakukan koordinasi antarlembaga
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam
pengelolaan sampah.
Ketentuan utama tentang pencegahan pencemaran lingkungan dalam Pasal 17
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup menentukan bahwa,
Ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran
lingkungan hidup beserta pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh
dan/atau secara sektoral ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Di
dalam penjelasan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ini
memuat upaya penegakan hukumnya.
Berkaitan dengan penegakan hukum
terhadap para pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan, I Gusti Ngurah
Wairocana menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:
1.
Mengenai Aturan Hukumnya, Pemerintah
selaku pembuat peraturan atau kebijakan dan pemerintah jualah yang harus
mensosialisasikan terhadap masyarakat apa yang menjadi ketentuan yang terkait
dalam peraturan tersebut.
2.
Pejabat Penegak Hukum, Pejabat penegak
hukum harus berindak sebagai penegak, dalam arti, pemerintah harus menindak
tegas para pelaku pencemaran lingkungan
dengan tidak pandang bulu.
3.
Sasaran Prasarana, Penyedian saranan
dan prasarana merupakan salah satu bentuk solusi untuk menanggulangi penumpukan
sampah, namun kesemua itu bukan berarti kesalahan dari pemerintah saja. Akan
tetapi, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan
hidup menjadi salah satu faktor kendala dalam penanganan masalah pencemaran lingkungan hidup kita.
Bila hal ini diterapkan pemerintah
sejak dini, maka masalah pencemaran lingkungan yang terjadi di Indonesia saat
ini akan sedikit teratasi. Namun seperti yang kita ketahui bahwa, pemerintah
sepertinya setengah hati untuk mengatasi dan menindak para pencemaran lingkungan khususnya pencemaran sungai
yang berdampa pada banjir dimana-mana dalam kota-kota besar.
Dalam upaya penanganan masalah pencemaran lingkungan, maka masyarakat
juga harus berpartisipasi di dalam pelestarian dan pemeliharaan lingkungan
hidup. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam
penanggulangan masalah pencemaran lingkungan hidup adalah:
1.
Masyarakat seharusnya tidak membuang
sesuatu ke dalam sungai atau benda lainnya di dekat aliran sungai seperti
plastik, bekas bungkusan makanan, bekas peralatan rumah tangga, bekas pakaian
dll.
2.
Masyarakat setempat semestinya
bergotong-royong untuk malakukan pengerukan saluran air/sungai secara berkala.
Tujuannya, agar selokan air atau saluran sungai tetap lancar dan tidak terjadi
pendangkalan akibat lumpur yang mengendap, akibat sampah-sampah yang sudah
membusuk.
3.
Memahami dan mematuhi aturan,
terkait dengan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah tentang pemeliharaan
dan pelestarian lingkungan hidup.
Dengan demikian, partisipasi
masyarakat merupakan salah satu hal yang sangat penting guna mencapai hasil
yang maksimal dalam penanggulangan masalah pencemaran lingkungan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya,
masyarakat masih saja membuang sampah sembarangan. Warga seharusnya sadar dan
tergerak untuk menangani masalah ini. Mereka seharusnya dapat menjaga selokan
atau saluran sungai tersebut dan bukan malah menjadikannya sebagai tempat
sampah praktis.
Sistem pengelolaan sampah yang baik
akan mengurangi kerusakan lingkungan. Karena sampah dapat merugikan kesehatan,
keamanan, pencemaran dan merupakan sesuatu yang tidak dipergunakan lagi dan
harus dibuang, maka sampah dikelola dengan sebaik-baiknya sedemikian rupa
sehingga hal-hal negatif bagi kehidupan tidak sampai terjadi. Agar sampah dapat
dikelola dengan baik maka sebelumnya harus diketahui atau diperhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhinya baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk menanggulanginya maka
ditentukan cara pengolahan yang baik agar jangan sampai terjadi dampak terhadap
kesehatan manusia dan pencemaran terhadap lingkungan. Syarat utama untuk
menghindari dampak dari sampah dan sekaligus menciptakan lingkungan yang sehat
dan bersih sampah dapat terangkut seluruhnya dari TPS (Tempat Pembuangan
Sementara) ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) setiap harinya.
Pengelolaan sampah yang baik bukan
untuk kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk keindahan lingkungan. Yang
dimaksud dengan pengelolaan sampah disini adalah meliputi pengumpulan,
pengangkutan, sampai dengan pemusnahan atau pengelolaan sampah sedemikian rupa
sehingga sampah tidak menjadi ganguan kesehatan masyarakat dan lingkungan
hidup. Cara-cara pengelolaan sampah antara lain:
1.
Pengumpulan
dan pengangkutan sampah
Pengumpulan sampah adalah menjadi
tanggungjawab dari masing-masing rumah tangga atau instansi yang menghasilkan
sampah. Oleh sebab itu, mereka harus membangun atau mengadakan tempat khusus
untuk mengumpulkan sampah. Kemudian dari masing-msing tempat pengumpulan sampah
tersebut harus diangkut ke tempat pembuangan sementara dan selanjutnya ketampat
pembuangan sampah akhir. Mekanisme pengangkutan untuk daerah perkotaan adalah
tanggungjawab pemerintah daerah setempat uang didukung oleh partisipasi
masyarakat.
2.
Pemusnahan
dan pengelolaan sampah
Pemusnahan dan pengelolaan sampah
ini dapat dilakukan dengan melalui berbagai cara yaitu:
a.
Ditanam, yaitu pemusnahan sampah
dengan membuat lubang ditanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun dengan
tanah.
b.
Dibakar, yaitu memusnahkan sampah
dengan jalan membakar di dalam tungku pembakaran.
c.
Dijadikan pupuk yaitu pengolahan
sampah menjadi pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-daunan, sisa
makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk. Apabila setiap rumah tangga
dibiasakan untuk memisahkan sampah organic dengan non organik kemudian sampah
organik dioleh menjadi pupuk tanaman dapat dijual atau dipakai sendiri.
Sedangkan sampah anorganik dibuang dan akan segera dipungut oleh para pemulung.
Dengan demikian maka masalah sampah akan berkurang (Wijadmoko, 2003).
Dalam upaya pelestarian daerah
aliran sungai ini, dapat saya tinjau dari beberapa tahap yang akan
mengembalikan lingkungan hidup menjadi lebih baik, nyaman, dan indah unutk di
pandan. Maka, dengan cara:
1.
Melestarikan
hutan di hulu sungai
Agar tidak menimbulkan erosi tanah
disekitar hulu sungai sebaiknya pepohonan tidak digunduli atau ditebang atau
merubahnya menjadi areal pemukiman penduduk. Dengan adanya erosi otomatis akan
membawa tanah, pasir, dan sebagainya ke aliran sungai dari hulu ke hilir
sehingga menyebabkan pwendangkalan sunmgai.
2.
Tidak
buang air di sungai
Buang air kecil dan air besar
sembarangan adalahperbuatan yang salah. Kesan pertama dari tinja atau urin yang
dibuan sembarangan adalah bau dan menjijikan. Tinja juga merupakan medium yang
paliang baik untuk perekembangan bibit penyakit dari yang ringan sampai yang
berat, oleh karena itu janganlah buang air besar sembarangan khususnya di
sungai.
3.
Tidak
membuang sampah di sungai
Sampah yabng dibuang sembarangan di
sungaiakan menyababkan aliran air di sungai terhambat. Selain itu juga sampah
akan menyebabkan sungai cepaa dangkal dan akhirnya memicu terjadinya banjir di
musim penghujan sampah juga membuat sungai tampak kotor menjijnikan dan
terkontaminasi
4.
Tidak membuang
limbah rumah tangga dan industri
Tempat yang paling mudah untuk
membuang limbah industri atau limbah rumah tangga berupa cairan adalah dengan
mambuangnya kesungai namun apakah limbah itu aman? Limbah yang dibuang secara
asal-asalan tentu saja dapat menimbulkan pencemaran mulai dari bau yang tidak
sedap, oencemaran air gangguan penyakit kulit serta masih banyak lagi.
Maka oleh karena itu Dalam
keseharian kita, kita dapat mengurangi pencemaran air, dengan cara mengurangi
jumlah sampah yang kita produksi setiap hari (minimize), mendaur ulang
(recycle), mendaur pakai (reuse).
Kita pun perlu memperhatikan bahan
kimia yang kita buang dari rumah kita. Karena saat ini kita telah menjadi
“masyarakat kimia”, yang menggunakan ratusan jenis zat kimia dalam keseharian
kita, seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, memupuk tanaman, dan
sebagainya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis terhadap
perilaku masyarakat dalam pengaruh lingkungan hidup, maka dapat disimpulkan
antara lain sebagai berikut:
1.
Pembahasan dan teori tersebut diatas
didasarkan atas fakta yang terjadi di lingkungan masyarakat Gesik tentang
anggapan bahwa pasang surut air sungai yang secara kontinu terjadi akan
membersihkan sampah-sampah yang hanyut. Selain itu faktor sungai yang cukup
lebar, debit air yang cenderung stabil dan arus yang relatif deras, menjadikan
sampah yang dihanyutkan warga cenderung tampak dalam mengotori sungai.
2. Bentuk
konstruksi rumah panggung di bantaran sungai yang berfungsi untuk
mengadaptasi kondisi pasang surut air sungai, berpotensi menjadi tempat
timbulan sampah yang relatif sulit untuk dilakukan proses pembersihannya.
Pernyataan ini didasarkan atas fakta banyaknya sebaran timbulan sampah di
wilayah tersebut. upaya pembersihan menjadikan timbulan sampah tidak dapat
dimusnahkan dan hanya tergantung kepada dorongan arus pasang surut yang tidak
dapat dikendalikan kualitas pembersihannya. Dengan adanya sampah yang relatif
tidak pernah dibersihkan juga memberikan pengaruh kepada motivasi individu atau
sosial masyarakat untuk melakukan atau berperilaku membuang sampah secara
spontan tanpa diwadahi, dengan alasan bahwa sungai juga sudah banyak sampah.
3. Pola
pembinaan pengelolaan sampah dalam bantaran sungai dengan budaya masyarakat
sebagai objek pelaku pengelolaan secara mandiri, memerlukan penerapan atau
pelaksanaan pembinaan yang simultan guna membentuk atau mengkondisikan
masyarakat untuk melaksanakan pengelolaan sampah.
4. Teknologi
adalah salah satu perkembangan zaman yang modern, hal tersebut dapat kita
gunakan untuk mengatasi pencemaran air. Instalasi pengolahan air bersih, instalasi pengolahan air limbah, yang dioperasikan
dan dipelihara baik, mampu menghilangkan substansi beracun dari air yang
tercemar.
B.
Saran
Berdasarkan
uraian kesimpulan di atas, penulis merekomendasikan kepada pihak yang
berkompeten dalam masalah persampahan di daerah Gesik dalam merencanakan
kebijakan bidang persampahan terutama kebijakan persampahan di wilayah bantaran
sungai, untuk memperhatikan aspek perilaku masyarakat sebagai objek penghasil
sampah dan pola pengelolaan yang dilakukannya. Adapun rencana implementasi
kebijakan persampahan yang dapat ditempuh antara lain sebagai berikut:
1. Penyediaan
sarana tempat-tempat sampah yang cenderung dekat dengan bantaran sungai atau
terjangkau oleh warga, sehingga warga dapat termotivasi untuk mengalihkan pola membuang
sampah sembarangan
2. Jika penyediaan sarana tempat sampah
telah dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah memberlakukan pelarangan pembuangan
atau pemusnahan sampah di sungai kepada warga.
3. Pengadaan sarana pengangkutan sampah
yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat, baik pola operasional dan
pembiayaannya. Dengan diadakannya sarana pengangkutan tersebut diharapkan
masyarakat akan terkondisikan untuk selalu mewadahi sampahnya sebelum diangkut
oleh moda pengangkutan sampah.
4. Pembentukan kelompok kerja yang
difungsikan untuk membersihkan timbulan sampah yang hanyut dan tertambat di
sekitar tepian sungai, sehingga diharapakan dapat menjadi stimulus kepada warga
untuk menjaga kebersihan wilayah tepian sungai dari timbulan sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar